GELAP


Gelap....
Gelap adalah malam
Gelap adalah hitam
Gelap adalah tidak adanya sebuah cahaya
Gelap adalah sisi lain yang terdapat didalam jiwa....

Namun,....
Aku sungguh sangat suka gelap
Gelap yang kusinggahi itu selalu mengispirasiku
Gelap itu selalu menemani ku
Gelap itu jua yang mampu menerjemahkan apa yang terjadi pada diriku....

Gelap jua,
Aku mampu menuangkan beberapa tetes air
Tetes air kesedihan,
Tetes air bahagia
Hingga tetes air yang mampu menyadarkan pada sesuatu diluar jangkauan ku...

Gelap...
Alangkah indah rupa mu
Alangkah bangga aku bila selalu dekatmu
Engkau juga yang mampu merasakan apa yang kurasakan
Dan aku suka berlama-lama didalam gelap......

SEPARUH JERITAN JIWA


Tak ayal......
Sudah kucoba jelajahi,kugagahi,kuarungi ruang hampa tersebut
Tapi,masih saja ada hal yang mengganjal yang betah berdiam disudut hampa tersebut
Hal itu adalah sebuah etika yang tak patut untuk dilakukan oleh siapapun
Aku begitu sangat canggung dalam menempa sebuah asa
Aku sudah mulai merasakan apa itu yang namanya kejenuhan
Aku sudah mulai muak dengan ucapan-ucapan yang menyayat hati.....

Tapi,tetap saja....
Aku salah satu manusia yang tak bisa menyalahkan orang lain,
Aku bukan juga manusia yang bisa memaksakan kehendak diri yang sangat merugikan orang lain,
Yaaaaa....sebagai manusia yang sama seperti kalian
Aku hanya ingin dipandang seperti kalian juga,
Tanpa adanya perbeda-an bagaimana kalian menganggap diriku sebagai manusia seperti yang lainnya.....

Jiwa yang merasakan keguncangan yang sangat berat sekalipun,
Pasti lah sang Maha Pencipta ada maksud dari semua itu
Sang Maha Kuasa takkan mau berlama-lama memberikan kesedihan,
Apalagi itu untuk manusia-manusia yang dia cintai
Karena Dia pastilah tau,
Manusia itu mahluk yang sangat lemah.....

MENCARI KEADILAN DI KUBANGAN


Sambil menghela nafas yang semakin tak beraturan menusuk tepat di dada.Dia berlari semakin menjauh ketika mengetahui orang yang selama ini mencintainya pergi dengan wajah tertunduk lesu akan ketidak berdaya-an tentang sebuah angan..Angan yang selama ini turut membelenggu ketidak berdaya-an tersebut membawanya semakin mengerti,"dunia ini tak seindah yang dibayangkan"..Mengeruk sampah-sampah yang mulai membusuk,itu sudah biasa dia lakukan,karena dia beranggapan bahwasanya,kehidupan ini tak lebih busuk dari sampah-sampah tersebut.Bagitu juga dengan harapan dan jiwa yang terasa terombang-ambing kerena keadilan itu sudah tak dapat dia temukan lagi,para penguasa sudah tidak peduli dengan jiwa-jiwa teraniaya kaum marjinal..Janji-janji yang terlampir dan terucap tak pernah terjadi untuk kaum marjinal...

LANGIT MENGGELAP DI VREDEBURG



Cerpen Sulialine Adelia

Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu. 
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya. 
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Mozes di sebelahnya.
"Kaget?" tanya Mozes, duduk di sebelah Reyna. 
Reyna tertawa kecil. 
"Gimana?" tanya Reyna tak jelas arahnya. "Lama sekali nggak ketemu."
"Iya. Berapa tahun ya? Dua lima, tiga puluh?"
"Tiga puluh tahun!" jawab Reyna pasti.
"Ouw! Tiga puluh tahun. Dan kamu masih semanis dulu."
"Terima kasih," Reyna tersenyum geli. Masih ’semanis dulu’. Bukankah itu lucu? Kalaupun masih tampak cantik atau manis itu pasti tinggal sisanya saja. Kecantikan yang telah terbalut keriput di seluruh tubuhnya. Tapi kalimat itu tak urung membuat Reyna tersipu. Merasa bangga, tersanjung karenanya.
"Kapan datang?" tanya Reyna. Mulai berani lagi menatap mata lelaki di sebelahnya.
"Belum seminggu," jawab Mozes.
"Mencariku?" Reyna tersenyum. Sisa genitnya di masa muda.
Mozes tertawa berderai-derai. Lalu katanya pelan, "Aku turut berduka atas meninggalnya suamimu," tawanya menghilang.
Reyna tak menjawab sepatah pun. Bahkan ucapan terima kasih tidak juga meluncur dari bibirnya. Ia menerawang ke kejauhan. Detik berikutnya mata Reyna tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Mozes tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya.
Reyna dan Mozes. Mozes pekerja film yang bukan saja terampil, tetapi juga cerdas dan kritis. Reyna pengelola media sebuah perusahaan terkemuka. Mereka bertemu karena Reyna harus membuat sebuah film sebagai media pencitraan perusahaannya. Reyna yang istri dan ibu seorang anak, dan Mozes yang duda. Dua orang muda yang masih segar, bersemangat, dan menawan. Dua orang yang kemudian saling jatuh cinta.
Reyna hampir saja meninggalkan Braham ketika itu. Ibu muda Reyna merasa menemukan sampan kecil untuk berlabuh. Meninggalkan malam-malamnya yang kelam bersama Braham. Pergi mengikuti aliran sungai kecil yang akan mengantarnya ke dermaga damai tanpa ketakutan, tanpa kesakitan. Berdua Mozes.
Tetapi sampan kecil itu ternyata begitu ringkih. Ia tak mampu menyangga beban berdua. Ia hanya ingin sesekali singgah, bermesra dan bercinta tanpa harus mengangkutnya. Mozes tak menginginkan ikatan apa pun antara dirinya dan Reyna. Ia ingin tetap bebas pergi ke mana pun ia ingin dan kembali kapan ia rindu. Kebebasan yang tak bisa Reyna terima. Maka sebelum perjalanan dimulai, ia memutuskan undur diri. Perempuan itu menyadari, bukan laki-laki seperti Mozes yang ia ingini untuk membebaskan dari derita malam-malamnya. Mozes berbeda dengan dirinya yang membutuhkan teman seperjalanan, ia hanya mencari ruang untuk membuang kepedihan dan mencari hiburan. Tak lebih.
"Berapa lama kamu akan tinggal?" tanya Reyna setelah gejolak perasaannya mereda.
"Entah. Mungkin sebulan, dua bulan, atau mungkin sepanjang sisa umurku," jawab Mozes, tanpa senyum, tanpa memandang Reyna. "Banyak hal yang memberati pikiran dan tak bisa kuceritakan pada siapa pun selama ini."
"Itu sebabnya kamu kemari?" 
"Jakarta semakin sesak dan panas. Sementara Jogja masih tetap nyaman buat berkarya. Jadi kuputuskan kembali," lanjut Mozes tanpa mengacuhkan pertanyaan Reyna. "Begitu kembali seseorang bilang padaku, kamu sering di sini sore hari." 
"Maka kamu mencariku. Berharap mengulang lagi hubungan dulu."
Mozes menggeleng.
"Atau membangun hubungan baru."
Mozes menggeleng lagi, "Tidak juga. Aku tidak butuh hubungan seperti itu. Aku hanya butuh teman ngobrol…"
"Teman bermesra, teman bercinta yang bisa kamu datangi dan kamu tinggal pergi. Tanpa tuntutan, tanpa ikatan!" potong Reyna. "Itu hubungan yang sejak dulu kamu inginkan bersamaku kan? Seperti sudah kubilang dulu, aku tidak bisa. Aku sudah memilih."
Kebekuan kembali merejam perasaan kedua orang tua itu. Langit perlahan kehilangan warna jingga. Satu per satu lampu di sekeliling mulai menyala. Ada rangkaian lampu-lampu kecil berbentuk bunga di samping tikungan yang menyala bergantian, hijau, kuning, merah. Ada lampu besar dengan tiang sangat tinggi yang menyorot ke taman, ada pula lampu berwarna temaram yang semakin menggumpalkan kesenduan.
Tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar. Terlalu banyak hal terjadi pada mereka dan sekian lama masing-masing memendam untuk diri sendiri. Mestinya pertemuan sore itu adalah untuk berbagi cerita bukan justru bertengkar kemudian saling diam. Atau mungkin karena perpisahan yang terlalu panjang, keduanya tak tahu apa yang harus diceritakan terlebih dahulu. 
Mungkin memang begitu, karena senyatanya Reyna ingin berkata, beberapa tahun setelah perpisahan mereka ia masih juga mencari kabar tentang Mozes. Hingga suatu hari, satu setengah tahun setelah mereka tidak bersama seorang teman mengabarkan bahwa Mozes pulang ke Jakarta. Tak lama setelah itu, ia mendengar Mozes tengah melanglang buana. Buana yang mana, entah. Reyna merasa tidak perlu lagi mencari tahu keberadaan laki-laki itu. Meski tak jarang bayangan Mozes tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya begitu Braham mulai menjamah tubuhnya dan membuat Reyna kesakitan tak terkira.
Terdengar Mozes menghela napas. Panjang. Perlahan gumpalan kemarahan yang menyesaki dada Reyna mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Reyna minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah kejadian itu, Reyna tak pernah tampak di depan Vredeburg lagi. Tetapi Mozes masih sering terlihat di salah satu bangku kayu di sana. Sendiri di tengah orang-orang muda yang tengah bercanda dan bercinta. Menghisap rokok kreteknya. Sesekali mengibaskan rambut putihnya yang panjang, tersapu angin menutup wajah tirusnya. 
Begitu perasaan Reyna membaik dan siap bertemu Mozes lagi, ia kembali pada rutinitasnya, menunggu senja jatuh di Vredeburg. Namun ia harus menelan kecewa karena Mozes tak dijumpainya. Bahkan telepon genggamnya tak bisa dihubungi.
Suatu sore, di tengah keputusasaan Reyna, seorang teman mendatangi dan mengulurkan sebuah surat kepadanya. Surat dari Mozes!
"Hari-hari itu dia mencoba menghubungimu, tetapi HP-mu tak pernah aktif," kata laki-laki itu. "Ginjalnya tak berfungsi, serangan jantungnya kambuh, tekanan darahnya tidak stabil…"
Reyna tak bisa mendengar lagi penjelasan laki-laki itu. Bahkan ketika si teman menyerahkan satu dos buku dan tas berisi kamera warisan kekayaan Mozes untuknya, Reyna belum kembali pada kesadarannya.
Senja beranjak renta. Seperti Reyna merasai dirinya. Sepasang remaja di sebelahnya telah pergi. Begitu juga sekumpulan anak muda yang nongkrong di atas motor mereka, mulai menghidupkan mesin kendaraannya. Sisa adzan sayup terdengar dari Masjid Besar. Sebaris kalimat di surat terakhir Mozes meluncur dalam gumaman.
…maghrib begitu deras, ada yang terhempas, tapi ada goresan yang tak akan terkelupas.*

TENTANG DIA



Bila engkau meminta ku untuk menceritakan tentang dia,mungkin takkan banyak yang kuketahui…Sebab,aku bukan lah diantara teman terdekatnya,dan juga aku bukan orang yang selalu mudah untuk mendekati seseorang…Tapi,bila engkau memaksa juga,aku akan menceritakan apa yang kuketahui tentang dia…
Malam itu ibaratkan sebuah panduanku untuk mengetuk lebih dalam tentang cahaya malam,dimana saat itu aku terbangun dari tidur yang begitu lelap kurengkuh,sebagai umpama aku sangat enggan bangkit dari lelap yang telah begitu mendayu didalam mimpi yang sama sekali tidak aku mengerti…
Aku begitu lama mengenal dia,tapi aku sangat enggan untuk mendekati ataupun sekedar menghampiri dia.Aku merasakan hal yang sangat beda bila menatapnya begitu lama,seperti sebuah hutan yang belum terjamahi sama sekali,disana terdapat bunga-bunga yang begitu langka yang mungkin tak seorangpun pernah melihatnya..Ibaratkan sebuah bunga tersebut,Dia sangat rentan bila terjamahi dan mungkin saja akan menimbulkan gemercik yang membuatnya layu.Atas pertimbangan itulah aku sangat enggan untuk mendekati ataupun sekedar mengenalinya…
Namun,dibalik jiwa yang rapuh itu..Sebuah cahaya yang begitu terang tersemai didalam dirinya,aku tidak tahu cahaya apa itu,dan darimana cahaya itu berasal??
Yaaaa….hanya untuk sekedar melihatnya dari kejauhanpun aku sudah sangat senang.Dan aku sama sekali tidak mengetahui lebih banyak tentang dia…

SUATU KETIKA


Jika engkau bertanya tentang aku??
Maka aku aku akan menjawab,Aku adalah sekumpulan gerimis 
Yang tersesat di padang yang tandus 
Yang berusaha memberikan kesegaran kepada setiap insan
Dan mahluk lainnya yang menginginkan akan kehadiran ku...

Dan jika engkau bertanya kembali,
Hendak menjadi apa bila suatu saat nanti 
Bila engkau sudah tidak bisa menginjakkan kaki di bumi ini lagi??
Maka aku akan menjawab,
Aku akan menjadi segerombolan angin yang siap menerpa jiwa-jiwa mereka yang dilanda kesedihan,
Dan aku akan berusaha menenangkan hati mereka 
Dengan sapa-an,
Dan dengan sentuhan lembut yang sengaja aku ciptakan...

Dan bila suatu saat nanti engkau masih penasaran tentang ku,
Coba engkau berdiri sejenak
Rasakan angin yang membelai tubuhmu,
Dan rasakan gerimis yang menyentuh dirimu
Maka,engkau kan mengetahui seperti apa aku.....

BUROQ


Wednesday, January 18, 2006

Cerpen: Ratih Kumala

Tak ada yang lebih aneh dari pada terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci dan mendapati dirinya penuh mengingat mimpi yang baru saja turun dalam lelap satu menit lalu; ia seorang bejat yang tak pernah salat- bermimpi bertemu Muhammad. Bagaimana bisa?

Inilah yang dikerjakannya setiap hari, bangun menjelang siang setelah malamnya menghabiskan berbotol-botol bir bersama teman-teman di depan kios tattonya. Tidak ada yang pernah benar-benar tahu siapa nama aselinya. Semua orang memanggilnya Cimeng, tentu itu bukan nama aslinya. Kulitnya gelap dan dia menggambarinya dengan tatto berwarna-warni. Dia menyebutnya seni, teman-temannya menyebutnya keren, anak-anak ABG menyebutnya anak punk, sedang tetangga-tetangga yang sudah pasti tidak menyukai kios tattonya menyebutnya berandal.

Pencerita mimpi siang itu sangat baik pada dirinya. Tentu saja ia heran, dirinya yang selama ini menganggap dunia brengsek maka dia harus menjadi seorang brengsek pula, tiba-tiba menjadi orang terpilih yang bertemu Muhammad dalam mimpinya. Ia tak tahu apa artinya, tapi mimpi itu sangat jelas. Hanya ada satu yang tidak jelas; wajah Muhammad.

Telah 10 hari bulan Ramadhan, dan ia baru tiga kali benar-benar berpuasa. Siang saat ia bermimpi bertemu Muhammad adalah hari dirinya berpuasa untuk yang ketiga kalinya. Bukan karena merasa wajib, tetapi karena hari itu ia malas keluar dari rumah sewanya untuk membeli makanan. Hari itu diisinya dengan tidur dan baru terbangun saat aroma bunga menyeruak hidung bercampur denting gerimis yang membawa aroma tanah. Matanya terbuka, ia ngulet ke arah matahari datang. Jendela terbuka menyuguhkan pemandangan mozaik, sedikit linglung merasa tak pasti apakah itu pagi atau sore. Ia dibangunkan oleh mimpi yang aneh; lelaki itu penuh wibawa berdiri di atas buroq; kendaraan yang konon lebih cepat dari cahaya dan membawanya ke lapis langit ketujuh.

*
Saat terbangun, ia melihat pemandangan matahari kemerahan di balik jendela terbuka, gerimis, serta pohon kamboja di sebelah rumahnya yang bertetangga dengan kuburan kecil menyeruak aroma bunga merah muda. Ia mengingat-ingat, apakah saat itu pagi atau senja. Usianya baru tujuh tahun tapi ia sanggup berpuasa penuh. Ibunya yang tiba-tiba muncul dari balik pintu menyapa dengan lembut, "Qatrun, salat asar dulu. Sebentar lagi magrib." Kini ia tahu, dirinya terbangun pada sebuah sore gerimis di bulan suci. Ia tak bergegas, mengingat-ingat mimpinya satu menit yang lalu. Sebuah mimpi yang jelas, hanya satu yang tidak begitu jelas; wajah Muhammad dalam mimpinya.

Sehabis berbuka puasa dan magrib lewat, Qatrun kecil mengambil sarung dan peci. Teman-temannya berteriak memanggil-manggil namanya di depan rumah, mengajak pergi ke surau berbarengan untuk tarawih. Kali ini setelah tarawih selesai ia tidak langsung pulang. Bahkan saat teman-teman merayunya dengan segenggam mercon yang disembunyikan di balik sarung untuk diledakkan di perempatan jalan, Qatrun tetap berada di surau dan menunggu sepi, ingin berbicara dengan Ustaz.
"Ustaz, aku bermimpi aneh."
"Mimpi apa?"
"Muhammad."
"Kau mimpi bertemu Muhammad?" ia harus mengakui ada rasa iri menyelip. Bahkan dirinya yang sudah berumur dan menganggap cukup taat belum pernah mimpi bersua Muhammad. "Bagaimana ia?"
"Ia berdiri di atas buroq dengan wajah yang tidak begitu jelas dan menatap ke arah kami."
"Kami?"
"Aku dan sekelompok orang. Tetapi mereka tidak ada yang percaya kalau dia Muhammad. Hanya aku dan seorang laki-laki beraroma minuman keras yang berdiri di sebelahku yang percaya."
"Lelaki beraroma minuman keras?" tanya Ustaz setengah sanksi. Qatrun mengangguk yakin, "seperti apa buroq?"
"Seperti sampan panjang,"
"Lalu bagaimana kau tahu Muhammad naik buroq, bukan naik sampan?"
"Aku tahu, Ustaz! Itu buroq, bukan sampan."
*

Menjelang magrib, laki-laki yang dipanggil Cimeng itu berjalan ke mini market dekat rumah sewanya dan membeli roti tawar untuk makan. Ia masih tetap mengingat-ingat mimpinya tadi. Ada sekelompok orang, namun hanya dirinya dan seorang bocah yang percaya bahwa lelaki yang berdiri di atas buroq itu adalah Muhammad. Usai makan dan mandi, tangannya tergerak. Ia mengambil jarum tatto dan mulai menggambar di lengannya. Sebuah sampan berwarna hijau dan sebuah lingkar di atas sampan berwarna kuning. Warna cahaya.
*

Qatrun tahu, minum keras itu beraroma seperti apa walaupun ia tak pernah menyentuhnya barang sedikit. Ia mengenali warna raut wajah memerah jika seseorang mabuk. Ia juga tahu bahwa minuman keras itulah yang menyebabkan ibunya memar-memar. Malam-malam saat ayahnya masih agak sering pulang ke rumah dalam keadaan teler, ibu selalu menunggu hingga tertidur di kursi panjang yang tak patut disebut sebagai sofa di ruang depan rumahnya yang kecil. Saat pulang, tak jarang ayahnya membawa aroma sangit keringat bercampur minuman keras, penat yang sangat, serta sedikit uang hasil menyupir truk. Itu bukan pemandangan baru bagi Qatrun. Jika ibu bertanya habis dari mana, tangan ayahnya melayang ke pipi ibu, meninggalkan bekas memerah. Sedang ia akan terbangun, mengintip dari balik tirai pintu. Hingga suatu hari ayahnya tak pernah kembali walaupun ibu masih menunggu pada malam-malam setelah isya' didirikan dan mengambil selembar bantal tipis untuk menyangga lehernya di kursi panjang di ruang tamu mereka yang kecil.

Di kamarnya yang kecil, Qatrun menggambar. Sebuah sampan panjang berwarna hijau terang, dan sebuah lingkar di atas sampan yang dikelir warna kuning. Warna cahaya.
*

Walau sekarang Ramadhan, dan Cimeng mengaku beragama Islam, ia tetap tidak puasa, tentu saja. Ia sedang menerima order tindik di lidah seorang anak usia SMA.
"Gambar apaan nih?" tanya ABG itu. Lengan Cimeng yang terbuka memperlihatkan tatto-tattonya yang sudah tak terhitung. Anak itu tertarik pada sebuah tatto yang baru dibuatnya dua hari lalu.
"Ini...," ia urung menjelaskan, "nurut elo gambar apa?"
"Bola naik perahu ya?" Cimeng hanya tersenyum atas jawaban si ABG.

Kios tatto di rumah sewanya baru sepi menjelang siang. Cimeng duduk terdiam, ia tiba-tiba merasa lelah sekali. Dihitungnya sudah berapa lama dia pergi dari rumah dan tak kembali. Ia hanya mengirimkan sesekali surat untuk rumahnya saja. Tapi dia tak pernah benar-benar tahu apa yang ingin ditulisnya. Ibunya selalu bertanya, kapan akan pulang. Semakin banyak tatto dan tindik yang dia buat di tubuhnya, semakin urung pula ia pulang. Walau kadang-kadang ingin.
*

Malam berikut saat buka puasa Qatrun menunjukkan gambar itu pada ibunya.
"Gambar apa ini? Ibu ndak ngerti."
"Ini gambar mimpiku, Bu."
"Mimpi apa?"
"Ini Muhammad," katanya menunjuk gambar lingkar berwarna kuning, "ini buroq, kendaraan saat Muhammad pergi ke langit ketujuh bersama malaikat."
"Kapan kamu mimpi ini?"
"Kemarin, waktu tidur siang."

Ibunya terharu, mengelus pelan rambut anaknya. Seperti biasa, Qatrun selalu pergi ke masjid untuk tarawih. Selesai tarawih kali itu pula ia tak langsung pulang. Ditunjukkannya gambarnya pada Ustaz dan beberapa teman lain. Ia jelaskan, gambar itu adalah Muhammad sedang naik buroq.
"Qatrun, hanya orang-orang terpilih yang bisa ditemui Muhammad di mimpinya," ujar Ustaz.
"Apakah itu berarti aku orang terpilih?"
"Kau yakin tak berbohong atas cerita mimpimu itu? Berbohong itu dosa." Teman-teman yang tadinya antusias mendengar cerita Qatrun bermimpi bertemu Muhammad, jadi terdiam. Memandang bergantian antara Qatrun dan Ustaz. Qatrun kecewa akan perkataan Ustaznya. Ia mengambil gambar itu.

Pergi dari surau dan tak pernah datang lagi untuk salat subuh, atau magrib, atau isya� atau tarawih. Gambar itu diletakkan begitu saja di atas meja. Tak pernah ia menyentuhnya lagi, hingga gambar itu hilang entah ke mana. Qatrun sekarang lebih suka membuat bermacam-macam gambar di bukunya. Tak hanya buku gambar, tapi buku tulis sekolah juga jadi penuh gambar. Ia tak hanya menggambar gunung, sawah dan rumah kecil. Kini gambar-gambarnya jadi berragam dan makin rumit. Qatrun pun jadi pendiam, hingga suatu hari dia bercita-cita akan meninggalkan rumah jika sekolah selesai.
*

Kios tatto hari itu ditutup, rumah sewa juga tutup. Anak-anak punk dan ABG yang sering mangkal di situ heran karena rumah itu tiba-tiba tutup dan digembok. Cimeng pergi mematikan HP-nya setelah sebelumnya dia mengirimkan sebuah SMS ke seorang temannya. Gue mudik, bunyi SMS itu.

Ia tak percaya, kampung kecil itu dijejakkinya lagi. Ia tak yakin ibu dan teman-temannya masih mengenalinya setelah pergi dari kampung itu tujuh tahun yang lalu, mengingat begitu banyak tatto dan tindik di tubuhnya sekarang. Ia khawatir ibunya tak mengenalinya. Saat ia sampai dan mengetok-ngetok pintu, rumah kecil itu tak dikunci. Cimeng masuk tanpa permisi. Seorang perempuan paruh baya berjilbab tertidur di kursi panjang yang tak bisa disebut sofa dengan sebuah bantal tipis menyangga lehernya. Selembar kertas bergambar sebuah sampan berwarna hijau dan lingkaran kuning keemasan berada di dekapannya. Bertahun-tahun, dan anaknya tak pernah tahu bahwa ia masih menyimpan gambar itu. Ibu, Qatrun pulang.

MASIH,TENTANG MALAM


Angin ini tak berhenti jua untuk berhembus
Menyentuh wajah kasar yang ditumbuhi oleh warna kemerahan yang terasa perih bila disentuh
Menghancurkan kebisingan yang tak jua berhenti lalu-lalang melintasi jalan setapak
Merubah hati yang terbangun untuk melepaskan rasa jenuh kesehari-an...

Namun,tak terpengaruh bagi ku
Ruang hampa yang penuh khayalan semakin asyik untuk dijejaki
Walaupun ada perih dan rasa sakit yang tumbuh disekitar hati
Hal itu tak mampu menghalangi ruang gerak yang semakin bebas untuk ditelusuri
Dan walaupun sedikit sempit,
Raga untuk melanjutkan semakin terbakar jelas....

Memperhatikan jarum jam yang semakin pelan berjalan
Seakan ia tak mau menyambut hari esok
Padahal,hari esok adalah hari dimana banyak harapan yang ingin dicapai
Sebuah cita-cita,
Yang mungkin orang bodoh saja yang tak menginginkannya.....

MALAM TANPA KANTUK


Hujan berangsur mulai reda,dia sudah betah mungkin dari tadi membasahi bumi yang hangat sejak beberapa hari ini...Sebuah masa yang biasa,semua orang selalu sibuk dengan aktifitas yang membelenggu mereka bagaikan sebuah tanaman benalu.."menguntungkan bagi mereka dan merugikan bagi yang mereka tumpangi",hal seperti ini sungguh sangat mudah dilihat dan dijumpai pada zaman sekarang..langit-langit kamar yang kutatapi begitu lama,tak seperti biasanya..Biasanya sang cicak sangat senang bercengkrama bersama sahabat atau pasangan nya,malam ini tak kulihat seekorpun,mungkin mereka terlelap atau sedang berbahagia disuatu tempat,sehingga akupun tak berhak untuk menganggu mereka,atau mereka berkumpul,bersedih karena salah satu anggotanya ada yang tidak pulang malam ini,dan aku juga kemungkinan tak berhak untuk ikut bersedih diantara mereka..Lama kutatap langi-langit kamar yang semakin hari semakin kusam oleh sarang laba-laba,namun rasa kantuk tak sedikitpun mampu menghinggapi jiwa yang sedang tak berdaya ini...

KEDAMAIAN ABADI


Supaya lebih jelas,mengapa engkau tidak menyaksikannya sendiri??disitu ada sebuah telaga yang masih bersih dari keegoisan manusia dan disitu juga jiwa yang damai akan merasakan kebebasan yang tak seorangpun akan membantah bahwa disitu lah dunia yang sesungguhnya takkan pernah berakhir...Telaga itu bernama Syurgawi..Hanya orang yang tertentu saja dapat mencapai kesana,disana tidak akan pernah ditemukan nafsu yang berlebihan,disana kasih-sayang selalu tercipta disetiap gerak-gerak yang tercipta,dan disana takkan pernah ada pertikaian yang menjadikan manusia saling tidak menyukai sesama mereka...
“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah 17)...^___^

SENDIRIKU,BUKAN BERARTI TAK MENGHARAPKAN KALIAN


Menabuh genderang yang seolah-olah hari ini akan berakhir,satu-persatu ku susuni langkah yang tercerai-berai akibat ulah kusendiri...Jiwa ini seakan tak bisa lepas dari keinginan untuk menyenangkan diri sendiri,hingga sampai masanya aku mulai menyadari,hidup ini terlalu singkat untuk dinikmati seorang diri...Awan yang begitu cerah hari ini pun seakan mengajak untuk melanjutkan aktifitas yang selama ini terlalaikan oleh kebiasa-an yang aku sendiri pun tidak mengetahui,sampai kapan hal ini harus berlangsung??Bagaikan sebuah lentera yang begitu rajin menerangi sisi gelap malam,lama-kelamaan akan redup bila bahan bakarnya berangsur habis karena diserap oleh api melalui sumbu yang basah oleh minyak...Akhhhh...penyesalan emang selalu datang diakhir-akhir episode.Namun aku takkan terjerambah untuk untuk terakhir kalinya,karena aku sudah cukup sadar,orang-orang yang menyayangi dan mengharapkan akan kehadiran ku diantara mereka sangat dinanti-nanti..Hanya sebentar lagi...^___^

HARMONISASI HUJAN


Seperti kata ku...hujan yang lama telah menumbuhkan kehidupan baru yang sangat dinamis,bunga-bunga mulai bermekaran dan mengembang memperlihatkan keelokannya yang bagaikan jiwa yang tak terbebani oleh dusta,memamerkan keindahannya pada ribu-an kumbang yang siap untuk menghisap sari madu yang berjuta rasa untuk dinikmati..Bunga seakan membawa kedamaian bagi manusia yang luput dari hingar-bingar kerindu-an yang menjelma,seakan tiada yang pantas untuk dipahami,harum mewangi bunga juga lah yang mampu mengobati sebuah hati yang terabaikan..
Begitu juga dengan sebatang pohon yang rindang,semakin gagah berdiri ketika air hujan yang begitu lembut menyentuh dahan-dahan tempat tinggal sekelompok burung yang menumpang berteduh diantara kerindangan daun yang dia miliki.Tak pernah berpikir oleh-nya akan balasan dari semua burung-burung yang menghinggapi dia.Keteduhan,kedamaian.keindahan,keharmonisasi-an telah sengaja dia ciptakan untuk melindungi mahluk yang lemah,yang mungkin saja suatu hal tersebut sangat indah untuk dilewatkan begitu saja..
Ilalang yang sangat tajam pun,cukup bisa melindungi mahluk kecil yang bersarang diantara kerimbunannya..dia berusah melindungi mahluk tersebut dari ancaman musuh yang berusaha memusnahkan mahluk yang lemah tersebut,dengan dinding-dinding tajam yang dia miliki...

CATATAN KECIL DARI KOLONG LANGIT


Dunia antah-berantah yang pernah aku singgahi sekarang sudah tak seperti dulu..dulu sekali,aku seorang diri yang menganggap semua itu hanya sebuah perumpamaan yang tak menarik sama sekali,disana hanya terdapat sebuah tetes keluh kesah yang seharusnya tak pantas untuk diratapi.Karena,hal yang begitu tersusun manis dengan harmonisasi kehidupan sangat jelas tergambar di jiwa yang haus akan belaian indah dari orang yang dikasihi dan dicintai...
Hari yang semakin cepat berlalu tanpa memberikan isyarat,sama sekali telah mengusik diri yang sudah seharusnya bergegas mencabik dan menghancurkan jiwa yang terlena akan keniscaya-an dan kemurka-an..Berkubang berulang kali ditempat yang seharusnya terhapus dari memory pikiran.
Namun hal tersebut masih saja tak terbendung,Keegoisan didalam diri telah menjerumuskan aku lebih dalam kejurang yang dipenuhi luka akan sebuah harapan yang seharusnya telah kunikmati sedemikian indah dengan seseorang yang menunggu akan kedatangan dan kehadiran ku.... ^____^